Kosep Negara

1. NEGARA (STATE).
Sebagai hasil dari cara berpikir berdasarkan logika yang mengesampingkan pertentangan, maka ahli borjuis seperti Kranenburg dan Krabbe (Belanda), Blackstone (Inggris) dan lain-lainnya mendefinisikan negara itu, kurang lebih sebagai berikut :

“Negara adalah wilayah tertentu, didiami oleh rakyat (bangsa asli dan warga baru) tertentu di bawah kekuasaan (authority) yang syah dan tertentu pula”.
Ayat ilmu politik yang lazim dikemukakan di Amerika ialah : Wilayah yang tertentu untuk menyusun suatu pemerintahan (for the sake of organizing a government).
Sebagai hasil cara berpikir dialektika yang melaksanakan pertentangan atas paham (teori) idealisme, maka Hegel mendefinisikan negara itu, sebagai “Pernyataan paham kesusilaan (moral) ….atau gambaran dan kenyataannya akal, atau ……kerajaan Tuhan di dunia, dimana hakekat dan keadilan yang abadi dilaksanakan”.

Sebagai hasilnya cara berpikir dialektik, yakni logika-pertentangan yang diselenggarakan atas paham (teori) materialisme, maka Marx mendefinisikan itu dengan kalimat yang terkenal : “Negara itu adalah hasil dan pernyataan perjuangan kelas yang tidak bisa didamaikan” (The state is the product and the manifestation of the irreconcilability of class-antagonism”).

Dalam buku karangan Engels judul Der Uspung der Familie, der Privateigentums und des State (1894) tertulis di antara lain-lainnya " ….(negara) adalah hasil masyarakat pada suatu tingkat kemajuannya, dia (negara) adalah suatu pengakuan bahwa masayrakat ini sudah terlibat dalam pertentangan dengan dirinya sendiri sehingga tak dapat diselesaikan lagi; sampai (negara) itu terbelah dua dalam pertentangan dendam dan kesumat yang tidak dapat disingkirkan lagi”.
“Supaya pertentangan ini, (yaitu pertentangan) dua kelas yang berdasarkan pertentangan kepentingan ekonomi ini, jangan melenyapkan diri dan masyarakat sendiri oleh perjuangan sia-sia, maka perlu ada sesuatu kekuasaan yang rupanya seolah-olah berdiri di atas masyarakat untuk menjabarkan perjuangan dan membatasi perjuangan itu dalam daerah ketentraman; dan kekuasaan ini yang timbul dalam masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat, yakni negara”.

“Kekuasaan umum itu ada pada tiap-tiap negara; kekuasaan itu tidak saja terdiri dari orang bersenjata, tetapi juga disertai oleh badan seperi penjara dan berbagai rupa alat pemaksa, yang semuanya tidak dikenal dalam suatu masyarakat kekeluargaan.”

Lenin dalam brosur “Negara dan Revolusi” (State and Revolution) berkata : "Dua badan yang teristimewa menjadi syarat mutlak mesin negara ialah birokrasi dan tentara”.
“Birokrasi dan tentara adalah lintah darat yang melekat pada badan masyarakat borjuis, lintah darat yang timbul dari pertentangan yang membela dua masyarakat itu, tetapi lambat laun yang menghisap semua lubang hidup masyarakat”.

Sekianlah dahulu catatan saya tentang negara itu yang saya rasa perlu sebelum saya memulai uraian saya.
Karena berlainan cara berpikir, berlainan bahan-berpikir dan berlainan pula semangat berpikir, maka ketiga jenis ahli pikir tersebut di atas mendapatkan hasil pikiran yang berbeda pula bentuk dan isinya.

Dengan cara berpikir logika, maka seorang profesor borjuis tidak mengemukakan pertentangan kelas dengan kelas dalam masyarakat yang diliputi oleh negara itu. Hegel memang guru Marx dalam hal ilmu berpikir secara dialektik, yakni cara berpikir yang berdasarkan pertentangan. Tetapi ia mempergunakan dialektika itu atas pengertian-tafsiran dan teori idealisme. Marx, Engels, dan Lenin tidak saja berpikir secara dialektik, tetapi mereka memakai dialektika itu atas teori kebendaan, kenyataan (materialisme).
Bahan berpikir yang diutamakan oleh ahli borjuis ialah wilayah (territory), rakyat (people), dan kekuasaan (authority). Dalam definisi tersebut di atas Hegel tidak mengacuhkan daerah dan rakyat itu. Dia mengemukakan kesusilaan (moral), atau akal (Rede) atau paham (Idea). Pun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah ke dalam definisinya. Tetapi mereka mengutamakan perpecahan kelas di antara rakyat itu dan mengemukakan kekuasaan yang dipakai oleh salah satu kelas dalam rakyat itu untuk menindas kelas yang lain dengan alat kekuasaan negara itu.
Tentang semangat menghampiri persoalan kenegaraan pun ketiga jenis ahli di atas tadi berlainan satu sama lainnya. Ahli borjuis bersemangat menyebarkan dan membatasi perjuangan. Sebaliknya Marx, Engels, dan Lenin mempertajam dan memperluas perjuangan kelas dari lingkup nasional ke lingkup international. Sedangkan Hegel bersemangat revolusioner terhadap sistem negara feodal tetapi bersemangat reaksioner terhadap gerakan proletar!
Meskipun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah dan rakyat ke dalam definisi negara itu, walaupun ketiga pemikir proletar ini lahir-batin adalah internationalis, tetapi hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak memperdulikan soal kebangsaan (nasional-question). Jauh dari pada itu!

Semua persoalan yang berhubungan dengan kemegahan dan kebangsaan (nasional-question), seperti soal bentuk suatu negara, yakni bentuk kesatuan (unitary) atau bentuk gabungan (federation); soal bentuk pemerintahan; yakni bentuk kerajaan (monarchy) atau republik; soal yang berhubungan dengan iklim, bahasa, kebudayaan, dan sejarah semua yang mengenai masing-masing negara tidak luput dari perhatian, penyelidikan, dan pertimbangan Marx, Engels, Lenin, Stalin. Dalam pemecahan persoalan kebangsaan dan kenegaraan itu, maka sampai sekarang di antara beberapa negara raksasa, maka Soviet Rusia banyak sekali mendapat hasil segala usahanya (tahun 1947).

Internationalisme adalah wujud yang terakhir dan semboyan “kaum buruh sedunia bersatulah” adalah pekik proletar kepada kelas sejawatnya di seluruh dunia untuk melaksanakan internasionalisme itu. Internasionalisme bukanlah berarti menyuruh kaum buruh di dunia berpangku tangan saja mengharapkan datanganya internasionalisme itu sebagai keajaiban yang jatuh dari langit. Tiap-tiap negara masih mempunyai wilayah sendiri, rakyat sendiri dan kekuasaan sendiri sebagai hasil perjuangan kelas lawan kelas dalam negara itu dengan negara lain.
Tiap-tiap proletar di masing-masing negara masih harus berjuang memperluas wilayahnya, atau harus menerobos batas negara yang terbawa oleh sistem kapitalisme untuk berjabat tangan dengan proletariat dunia menghancurkan kapitalisme dunia.

Negara sosialis terbesar seperti Uni Soviet yang berdiri sejak Perang Dunia I (1914-1918) bersama dengan beberapa negara sosialis lain di sekitarnya, Polandia, Ceko-Slowakia, Hongaria, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia dan lainnya yang berdiri sejak akhir Perang Dunia II (1935-1945). Uni Soviet dan sekitarnya itu sekarang (tahun 1947), yakni tepat 100 tahun semenjak Manifesto Komunis dikeluarkan (yakni tahun 1847) masih memperjuangkan batas wilayah negaranya, dan membela rakyat (kewargaan) yang termasuk ke dalam negara sosialis itu.

Bukankah sekarang (Desember 1947) soal wilayah dan rakyat yang kita anggap harus masuk ke bawah kekuasaan Republik Indonesia, serta soal kebudayaan yang kita anggap terutama adalah urusan bangsa Indonesia sendiri itu juga yang menjadi persoalan yang kita rasa penting dan hangat, soal yang bisa menggagalkan atau melanggengkan, dengan langsung atau tidak, semua daya upaya menegakkan kemerdekaan 100 %.

2. TIMBUL TUMBANGNYA NEGARA.
Dimana dan kapan, dalam suatu masyarakat timbul dua kelas yang bertentangan ekonominya, tak dapat didamaikan, maka disana dan pada saat itu juga dalam masyarakat itu timbul satu kekuasaan untuk membatasi dan menempatkan pertentangan itu dalam suatu ketentraman umum.
Kekuasan ini, yang timbul dalam masyarakat itu sendiri, yang semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat dan berada di atas masyarakat itu sendiri, oleh Marx dan Engels kekuasaan ini dinamakan sebagai negara. Kekuasaan yang secara telanjang bulat berupa birokrasi, tentara, pengadilan, polisi, dan penjara pada awalnya berdiri di tengah-tengah, sebagai wasit tetapi dalam batinnya dia adalah alat kaum berpunya untuk menindas kaum tak berpunya. Semakin keras pemerasan kelas berpunya atau kelas tak berpunya, maka semakin tajamlah juga pertentangan di antara kedua kelas itu. Dengan bertambah tajamnya pertentangan itu, maka bertambah terang pula sifat negara itu, sebagai suatu alat penindas kaum berpunya atas kelas tak berpunya.
Di mana dan kapan tak ada pertentangan kelas dalam masyarakat itu kerena tak adanya pertentangan ekonomi di situ, maka di sana dan pada saat itu masyarakat tidak memerlukan satu kekuasan yang teristimewa dan terpisah dari masyarakat itu, serta berdiri di atas masyarakat itu sendiri. Dengan perkataan lain, masyarakat semacam itu tidaklah memerlukan negara (state), tidak memerlukan alat penindas seperti birokrasi, tentara, pengadilan, polisi, penjara dan algojo. Selama pertentangan ekonomi antar kelas dan kelas manusia dalam masyarakat itu belum ada maka selama itu pula masyarakat itu bsia berdamai antar sesama dengan mudahnya. Semua urusan perekonomian, sosial, dan kebudayaan di dalam masyarakat itu dan semua urusan pembelian ke luar masyarakat diurus dengan dasar kemerdekaan, persamaan, persaudaraan, dan permufakatan. Paksaan dengan alat penindas oleh satu kelas yang lain tidak diperlukan dan tidak timbul. Dalam menghadapi semua persoalan, semua anggota masyarakat berunding atas dasar sama rata, untuk mendapatkan putusan yang dimufakati bersama dan akhirnya untuk bertindak bersama. Keadaan masyarakat yang semacam itu rupanya yang oleh Engels di namai “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” (Self acting armed organisation of the population). Masyarakat yang begini adalah masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri, ia terdapat pada masyarakat yang berdasarkan Komunisme asli (Oer-kominisme).

Banyak sekali pelajaran yang kita peroleh dari buku kecil karangan Engels tersebut diatas. Semakin dalam kita kaji pendapat Engels tentang masyarakat dahulu kala di Amerika (Masyarakat Indian) yang diterima oleh Engels sebagai hasil penelitian seorang pengarang Amerika, bernama Lewis H. Mergand dalam buku Ancient Society, semakin mengerti pula kita akan seluk beluk masyarakat kita sendiri.
Saya sendiri, ketika membaca buku Engels itu, acap kali merasa ada beberapa persamaan di antara masyarakat Amerika asli (Indian) dengan masyarakat beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh, rasanya tidak banyak bedanya keadaan masyarakat Minangkabau lampau, di waktu luhurnya, dengan keadaan “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri itu”! Dasar seia-sekata menurut pepatah Minangkabau bukanlah satu perhiasan kata saja. Seia-sekata itu adalah dasar yang dipegang teguh dalam suatu rapat umum. Rapat umum ini pun adalah satu kata yang kosong isinya. Laki-perempuan, tua dan muda boleh hadir dan berhak penuh untuk berbicara dalam suatu rapat umum, yang acapkali disebut : “bersuluh bulan dan matahari, bergelangkan mata orang banyak”, artinya berterang-terangan. Ada pun permusyawaratan itu adalah wajib dilakukan untuk mendapatakan sia-sekata atau kebulatan pikiran. Kata pepatah : bulat air dek (oleh) pembuluh, bulat kata dek mufakat. Azasnya suatu permusyawaratan itu ialah kemerdekaan berbicara bagi tiap-tiap orang laki, perempuan, tua dan muda. Suatu permusyawaratan harus jauh dari kekerasan dan paksaan. Yang menjadi dasar perundingan itu adalah alur (penjelasan yang logis menurut adat dan undang-undang) dan yang ditujukan kepada yang patut (adil).
Bunyi pepatah: "mufakat beraja kepada alur dan patut”. Setelah seia dan sekata atau kebulatan kata itu diperoleh dengan cara permusyawaratan yang bebas dari segala macam kekerasan dan paksaan, maka barulah masyarakat itu boleh bertindak bersama, cocok dengan dasarnya "Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri" ke dalam dan ke luar.

Satu misal saja! Perkara bunuh-membunuh harus diperiksa di depan umum, dimana si tertuduh dan si penuduh di depan para hakim dan khalayak, berhak membela perkaranya sepuas-puasnya. Mereka diperbolehkan memajukan keterangan dan saksi selengkap-lengkapnya. Kalau perlu mereka boleh memakai pertolongan seorang cerdik-pandai sebagai pembela. Suatu hukum atas pelanggaran sepanjang adat, harus terlebih dahulu disetujui oleh kedua belah pihak sebelum hukuman itu dijalankan.

Kata mufakat pula menetapkan beratnya pihak yang bersalah membayar denda (bangun!), yakni hukuman yang seberat-beratnya menurut sistem Datuk Perpatih, walaupun dalam perkara bunuh membunuh. Dalam hal ini, oleh permufakatan, pihak yang bersalah diwajibkan memotong sekian banyak kerbau, untuk satu selamatan, dimana kedua belah pihak yang disaksikan oleh pihak ketiga, bermaaf-maafan (Acapkali terjadi pembunuhan, sesudah bermaaf-maafan itu lari ke negeri asing, membuang diri sendiri atau bahkan bunuh diri, karena malu). Demikian pula dalam hal menentukan sikap berdamai atau berperang, kebulatan kata diperoleh dengan jalan permufakatan.

Barulah seluruhnya daerah dan seluruhnya masyarakat Minangkabau bertindak, cocok dengan dasar “Rakyat bersenjata bertindak sendiri”.

Pepatah : Tegak (tinggal) di kampung pagar kampung, tinggal di alam (Minangkabau) pagar (nya) alam. Dan : Melompatlah sama pata, menuruk (sembunyi) sama hilang.
Keadaan di atas terdapat di Minangkabau ketika perekonomian masih belum atau sedikit sekali dipengaruhi uang. Harta benda, sebagian besar masih berada di tangan suku (keluarga). Harta pusaka, seperti sawah dan rumah sekali-kali tidak boleh dijual ataupun digadaikan, kalau dalam permusyawaratan keluarga ternyata bahwa ada seorang saja anggota, laki atau perempuan (biasanya perempuan) yang tidak setuju. Kemakmuran masih merata di antara semua suku. Pekerjaan penting seperti bersawah dan mendirikan rumah adat, apalagi balai masih berdasarkan pertobohan atau tolong-menolong.

Sambil lalu saja saya hendak mengemukakan di sini bahwa menurut bukti yang saya peroleh, maka masyarakat Arab, di masa Nabi Muhammad dan tiga khalifah berikutnya, yakni Abu Bakar, Umar dan Usman, juga berada dalam tingkat dasar “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri”. Setelah kaum Muslimin menaklukkan beberapa negara yang kaya raya seperti Syiria, dan lain-lain, maka barulah masyarakat Muslimin terbelah dua, yang berpunya dan tak berpunya. Pertentangan antara yang berpunya dengan yang tak berpunya kian hari kian tajam dan tak dapat didamaikan. Seiring dengan berlanjut dan kian tajam pertentangan itu, maka kian terpusatlah kekuasaan pada khalifah dan keluarga serta pembantunya. “Masyarakat Bersenjata yang bertindak sendiri” yang berdasarkan permusyawaratan di masa Nabi dan tiga khalifah yang mengikuti, lama kelamaan beralih menjadi satu negara, satu kerajaan (monarchy). Negara (kerajaan) Islam itu sering mengenal kemakmuran-umum dan keadilan, seperti kerajaan Spanyol Islam di bawah pemerintahan Abdur-Rahman; kerajaan Baghdad dibawah Khalifah Harun al-Rasyid dan kerajaan Hindustan Islam dibawah Sultan Akbar. Tetapi sering pula negara (kerajaan) Islam menderita kemelaratan dan kedzaliman, saat khalifah, tentara, polisi, hakim dan algojo bertindak sewenang-wenang.

Syahdan Benua Eropa sampai sekarang sudah mengenal lima tingkat kemajuan masyarakat: 1)Masyarat komunisme asli; 2) Masyarakat budak (slave); 3) Masyarakat feodal (budak, serf); 4) Masyarakat kapitalis; 5) Masyarakat sosialis (Rusia, Polandia, Cheko-Slowakia, Hongaria, Rumania, Yugo-Slavia dan Bulgaria!).

Pada tingkat pertama (masyarakat komunisme-asli) maka state, negara sebagai alat penindas satu kelas atas kelas lain belum dikenal. Setelah masyarakat di sana pecah menjadi kelas berpunya dan kelas budak (tingkat 2) seperti Yunani-Kuno dan Romawi, maka barulah diperlukan negara, sebagai alat kaum berpunya untuk menindas budak, yang boleh dijual-berlikan dan dibunuh.

Konon kabarnya kurang lebih 25.000 antara keluarga yang berpunya, yang berdemokrasi, “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” memeras dan menindas kurang lebih 500.000 (setengah juta) kaum Budak. Semakin keras pemerasan, semakin kejamlah pula penindasan; jadi semakin kejam pula tindakan alat-alat negara itu, yakni militer, polisi, penjara, dan algojo.

Pada tingkat ke-3 (masyarakat feodal), maka negara serta alat penindasanya dipegang oleh keluarga raja dan ningrat untuk memeras dan menindas kaum budak (serf) yang terikat kepada tanahnya yang boleh dijual belikan tetapi tidak boleh dibunuh semau-maunya oleh yang punya.
Pada tingkat ke-4 (masyarakat kapitalis), maka negara serta alat penindasnya dipegang oleh kaum kapitalis dan tuan tanah untuk memeras proletariat melalui mesin dan tanah. Di samping birokrasi, militer, polisi, mahkamah, penjara dan algojo maka kaum borjuis mempunyai pula alat batin untuk menindas mental kaum proletariat, yakni surat kabar, gambar hidup, sekolah dan gereja.

Akhirnya pada tingkat ke-5 (masyarakat sosialis) negara itu sebagai alat penindas belum juga hilang. Negara pada tingkat ini berupa diktator proletariat, yakni kaum proletariat, sebagai kelas yang berkuasa. Ditaktor proletariat mendiktekan kemauannya atas masyarakat baru (sosialis): Membangun dasar untuk tumbuhnya komunisme; menindas sisa kapitalisme dan feodalisme di dalam negara, serta mempertahankan negara proletar itu dari serangan kapitalisme-imperialisme luar.

3. TUMBANG TIMBULNYA NEGARA.
Suatu negara bisa tumbuh untuk jangka yang lama, yakni selama kaum yang berpunya dan berkuasa masih sanggup mengadakan kemajuan (teknik-sosial, politik, dan budaya). Negara yang lama tumbang dan negara yang baru timbul kalau yang lama itu tak sanggup lagi memberi kemajuan, dan kelas baru dalam masyarkat, yakni yang selama ini tertindas, sanggup berorganisasi, berjuang dan menggantikan yang lama, serta mengadakan kemajuan dalam semua lapangan masyarakat.

Demikianlah di benua Eropa, negara budak bertukar menjadi negara feodal seterusnya negara feodal di Perancis bertukar menjadi negara kapitalis (Revolusi Borjuis tahun 1789) dan negara feodalis-kapitalis di Rusia bertukar menjadi negara sosialis (Revolusi Proletar 1917).

Pertukaran bentuk demi bentuk negara didahului dan didorong oleh perubahan ekonomi, yakni perubahan produksi (penghasilan), distribusi (pembagian hasil), pertukaran barang dan pengangkutan serta keuangan, sedikit demi sedikit, dari tahun ke tahun, berubah sampai satu ketika berubah bilangan (quantity) berubah menjadi peralihan sifat (quality), sesuai dengan hukum dialektika.

Perubahan peraturan ekonomi dalam masyarakat komunisme asli, sedikti demi sedikit berganti menjadi peralihan besar dan cepat, melompat atau meletus menjadi perekonomian feodal. Selanjutnya sepanjang hukum dialektika itu juga perekonomian sosialis di antara lebih dari pada tiga ratus juta (300.000.000) manusia yang mendiami Uni Soviet dan beberapa negara sekitarnya (belum termasuk Tiongkok dan Korea).

Perubahan dan peralihan ekonomi dari sistem ekonomi komunis asli menjadi perekonmian budak itu mendorong perubahan masyarakat komunis asli menjadi negara budak. Seterusnya perubahan dan perubahan ekonomi yang terjadi berturut-turut dari perekonomian budak ke perekonomian feodal, dari perekonomian-feodal ke perekonomian kapitalis, dan dari perekonomian kapitalis ke perekonomian sosialis mendorong pula kepada perubahan bentuk negara budak berturut-turut kepada bentuk negara feodal, negara kapitalis, dan negara sosialis (ditaktor proletariat).
Ringkasnya gerakan bentuk negara, dari sesuatu bentuk ke bentuk lainnya, didorong oleh gerakan perekonomian yang sesuai.

Apa pula yang menjadi kodrat pendorong (moving forces)-nya perekonomian itu? Marx dan Engels menjelaskan semua bukti yang dikemukakan oleh para ahli sejarah di masa mereka hidup, bahwa perekonomian (produksi, distribusi dan lainnya) itu digerakkan oleh kekuatan produksi (forces of production), yakni oleh tenaga (manusia), alat, dan mesin. Dengan perubahan dan beralihnya kekuatan produksi ini, maka berubah-beralih pula perekonomian itu.
Entah di abad ke berapa dan di tahun berapa pula, maka manusia itu pada tingkat masyarakatnya yang pertama sekali cuma mengenal batu sebagai alat. Kemudian mereka mendapatkan panah. Dengan tenaga (manusia), batu dan panah, maka mereka mencari hasil buat hidup serta membela diri terhadap musuh yang berupa manusia biadab dan binatang buas. Makanan yang utama adalah buah-buahan dan binatang liar. Pekerjaan seperti itu cuma dapat dijalankan bersama-sama atas dasar tolong-menolong dan gotong royong. Orang tak bisa hidup dan bertindak sendiri-sendiri di zaman manusia dan hewan serba liar serta ganas itu.

Kerja bersama untuk mencari makan dan membela diri itu dengan sendirinya mendorong kepada pemilikan bersama atas alat dan senjata (kecuali dalam satu dua hal!). Pemilikan bersama berlaku pula atas hasil produksi atau hasil kerja bersama itu. Di sini dan di zaman ini tak ada pemerasan manusia atas manusia atau satu kelas atas kelas lainnya. Semua anggota masyarakat bersama-sama memiliki alat dan hasil produksi. Tak ada yang tak berpunya. Tak ada pula pertentangan antara kelas yang berpunya dengan kelas yang tak berpunya. Jadi masyarakat semacam itu tak memerlukan negara sebagai alat penindas yang istimewa, “yang menempatkan dirinya dalam masyarakat itu”. Masyarakat semacam ini adalah masyarakat komunis asli.
Pada tingkat ke-2, masyarakat budak, alat (produksi) itu bukan lagi batu melainkan logam, yakni tembaga, besi dan baja. Kaum yang berpunya memiliki tenaga (manusia) dan alat untuk produksi. Budak dan tenaganya boleh dijual-belikan dan boleh pula dibunuh. Masyarakat manusia bukan lagi masyarakat pemburu yang belum mengenal pertanian seperti pada zaman batu. Masyarakat di zaman logam sudah mengenal peternakan, pertanian (meskipun masih dalam keadaan sederhana) dan sudah mengenal pertukaran barang. Pada masa ini juga sudah timbul pembagian pekerjaan (division of labour) antara golongan peternak, petani, dan tukang. Seorang anggota masyarakat di zaman itu tidak lagi seperti sebelumnya, misalnya pagi berburu, petang mengembala, sore bertani dan malam bertukang atau bertenun, sehingga tak ada satu pekerjaan yang mahir dikerjakannya. Manusia dalam masyarakat itu sudah terpisah-pisah dalam golongan menggembala, pemburu, petani, dan tukang, masing-masing golongan melakukan pekerjaan sendiri-sendiri. Dengan begitu, kepandaian dan keahlian kerja kian bertambah. Hasil pun terus bertambah. Dalam keadaan demikian, lahirlah pertukaran barang antara orang dan orang, antara golongan dengan golongan dalam masyarakat itu sendiri kemudian antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Yang membutuhkan pakaian, tetapi mempunyai makanan berlebih menukarkan makanannya (misalnya: gandum) dengan yang mempunyai pakaian berlebih tetapi membutuhkan makanan.
Pada masa ini mulailah timbul kaum saudagar dan timbul pula kemungkinan bahwa semua kodrat penghasil, yakni kaum budak serta alat, jatuh terkumpul di tangan beberapa orang yang berpunya.

Kerja bersama atas dasar kemerdekaan dan kekeluargaan hilang lenyap. Timbullah kerja-paksa oleh kelas orang berpunya atas kelas budak yang kebanyakan adalah tawanan perang atau keturunan tawanan itu atau orang yang berhutang tetapi tidak sanggup lagi melunasi. Milik bersama atas alat dan hasil seperti pada zaman komunis asli beralih menjadi milik perseorangan (private ownership) atas alat, tenaga, dan hasil. Kelas yang kecil, yakni kelas yang berpunya, memeras dan menindas kelas yang besar tetapi tidak memiliki apa-apa. Pertentangan yang sering beralih menjadi perjuangan semakin menghebat dengan bertambah tajamnya pertentangan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Disinilah timbul alat penindas yang istimewa “yang menempatkan dirinya diatas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat itu”. Timbul dan tumbuh tentara dan polisi, yakni “alat utama untuk mempertahankan kekuasaan negara.” Beralih masyarakat komunis asli, dari “satu masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” menjadi negara budak, dengan serdadu, reserse, polisi, jaksa, penjara, dan algojonya.
Pada tingkat ke-3, masyarakat feodal, maka pemakaian besi bertambah baik. Bajak besi dan jentera buat menenun berkembang. Peternakan, pertanian, dan pengusaha susu buat membikin keju dan mentega (dairying) sedang maju. Mulai timbul manufacturies (parik atas dasar kerja tangan) disamping pertukangan. Keluarga raja dan ningrat memiliki alat produksi (tanah dan perkakas). Budak yang di zaman Yunani boleh dibunuh dan diperjualbelikan, tidak boleh lagi dibunuh, tetapi masih boleh diperjualbelikan. Budak-slave bertukar menjadi budak-serf (lijfeigene). Produksi di zaman feodal menghendaki sedikit perhatian serta initiatif dalam pekerjaannya. Budak-slave sama sekali tidak mempunyai kedua sifat itu karena memang badan dan jiwanya sendiri bukan milik mereka, apa lagi alat dan hasil. Budak-serf diizinkan sedikit mempunyai tanah (husbandry) dan perkakas (implements) untuk digarap. Dengan demikian mereka sanggup membayarkan sebagian hasilnya kepada ningrat dan sanggup memegang sisa pajak itu buat hidupnya sendiri beserta keluarganya. Sebab itu pula maka mereka sekedarnya menaruh perhatian terhadap dan menunjukkan initiatif dalam pekerjaannya. Disamping milik feodal ada juga milik perseorangan oleh petani dan tukang alat beserta hasilnya yang berdasarkan kerja perseorangan. Milik perseorangan itu bertambah maju dalam zaman feodal ini. Umumnya pemerasan di zaman budak-serf hampir tidak beda dengan zaman budak-slave. Demikian juga pertentangan dan perjuangan antara kelas ningrat dengan kelas budak-serf bersama-sama dengan pertentangan serta perjuangan antara baas dengan knecht (majikan dan pembantu) pada suatu usaha manufaktur tidak pula berkurang dibandingkan di zaman budak-slave. Di zaman feodal ini negara dengan perlengkapannya seperti serdadu, polisi, jaksa, penjara, dan algojo disertai gereja sebagai penekan mental, jelas sekali sifat dan coraknya sabagai alat penindasnya satu kelas atas kelas yang lain.
Tingkat ke 4 adalah zaman kapitalisme yang sudah lebih kita kenal. Perkakas digerakkan dengan tangan di masa manufaktur dahulu, sekarang digerakkan dengan uap dan listrik. Godam yang beratnya ½ kg di zaman manufaktur yang sukar buat diayunkan oleh seorang pekerja, maka 500.0000 kg dengan mudah bisa diayunkan oleh kekuatan listrik. Sedangkan satu pabrik dizaman manufaktur cuma bisa memusatkan 1000 orang kaum pekerja, maka pabrik mesin sekarang sanggup pemusatkan 30.000 pekerja dalam satu pabrik dan ratusan ribu dalam satu perusahaan (tambang dan kereta). Menjalankan dan mengawasi satu mesin memerlukan latihan dan kepintaran. Budak-slave ataupun serf yang bodoh itu tak dapat lagi dipakai oleh kapitalisme zaman sekarang.

Proletar mesin harus disekolahkan lebih dahulu. Di sinilah awalnya undang-undang demokratis (compulsory education). Seandainya saja tiap-tiap warga negara mempunyai sebidang tanah atau satu pertukangan, maka tak akan bisa atau susah sekali buat seorang kapitalis mendapatkan buruh buat dipekerjakan. Namun hal itu tidak terjadi.
Pada zaman kapitalis ini suatu perusahaan besar menindas dan melenyapkan perusahaan kecil. Karena penindasan dan pelenyapan itu, tidak setiap warga memiliki hak milik sendiri. Dalam satu persaingan ekonomi yang tajam kejam itu, maka pabrik melenyapkan kebanyakan perusahaan tangan yang kecil, perkebunan besar melenyapkan atau mendesak sawah dan ladang. Sebagian besar penduduk menjadi melarat atau menjadi proletar (tak berpunya) karena didesak oleh perusahaan besar itu, mereka, proletar, terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis. Mereka “merdeka” karena “dimerdekakan” oleh revolusi borjuis dari tanahnya ningrat dan kaum tukang yang kecil “dimerdekakan” dari alatnya karena disaingi dan dilenyapkan oleh mesin pabriknya kaum kapitalis. Mereka “merdeka” juga menjual tenaganya kepada kapitalis. Tetapi karena mereka terikat oleh bahaya kelaparan, maka mereka terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis itu dengan harga semurah-murahnya, lantaran persaingan yang tajam antara seorang proletar dengan proletar lainnya. Dengan terpukulnya perusahaan kecil oleh perusahaan besar, maka harta benda dalam negara terpusat pada yang berpunya. Yang miskin bertambah miskin di samping yang kaya bertambah kaya. Yang miskin bertambah besar jumlahnya dan yang kaya bertambah kecil jumlahnya.
Syahdan di dunia kapitalis modern tulen seperti Amerika, dua lusin orang memiliki hampir semua mata pencarian hidup, seperti pabrik, kebun, tambang, kereta, kapal, bank dan sebagainya. Dengan begitu, hasil produksi jatuh ke tangan yang memiliki faktor produksi juga. Sebagian besar rakyat tak mempunyai apa-apa, tetapi merekalah yang memproduksi dengan cara kerja bersama. Pertentangan selusin dua lusin orang yang tidak bekerja tetapi memiliki alat dan hasil produksi dengan sebagian besar rakyat yang bekerja membantung tulang tetapi tidak memiliki alat produksi dan hasil produksi. Pertentangan ini sangat berbahaya di masa krisis ekonomi. Di masa inilah negara kapitalis beserta birokrasi, militer, polisi, kejaksaan, penjara, algojo, pendeta, dan profesornya bertindak mencegah pecahnya pemogokan atau revolusi proletar. Di masa krisis inilah negara borjuis bertelanjang bulat mempertontonkan dirinya sebagai alat penindas kaum borjuis atas kaum proletar dan melemparkan topengnya sebagai “wasit” yang berdiri di tengah-tengah, yang adil tidak memihak ke sana atau ke sini.
Revolusi proletar yang melenyapkan pertentangan dalam dunia kapitalisme dan membawa masyarakat ke tingkat ke-5 yakni ke tingkat sosialisme, gagal di Perancis pada tahun 1871 dan jaya di Rusia pada tahun 1917. Di Rusia tak ada lagi pertentangan antara hak milik pribadi dan hak milik bersama atas alat dan hasil produksi penting. Di negeri ini rakyatnya hidup dengan cara kerja yang berdasarkan kolektivitas (sosial) sejak Perang Dunia Pertama. Di sana sekitar 150 juta manusia pada masa Perang Dunia I dan lebih dari 300 juta manusia sejak Perang Dunia II, dijauhkan dari pertentangan antara kelas yang berpunya dengan kelas yang tak berpunya. Alat produksi penting dan hasilnya dimiliki secara bersama-sama juga dibagi-bagi (masih) menurut aturan :”Siapa yang tidak bekerja tidak akan dapat makan”. Dengan adanya revolusi di Rusia, timbullah kekuasaan baru, negara baru, yakni diktator proletariat, yakni kaum proletar sebagai kelas yang menumbangkan negara feodal kapitalis. Tumbuhlah Soviet, tentara, polisi, mahkamah dan penjara proletar buat menumbangkan dan menjaga tetap lenyapnya birokrasi, tentara, polisi dan penjara Tsar, kapitalis Rusia serta semua bantuan-bantuan konco-konco kaum kapitalis dan imperialis di luar Rusia.

4. TESIS, ANTI TESIS DAN SINTESIS.
Dalam garis besarnya sudah hampir nyata berlaku hukum-dialektika yang berupa tesis, anti tesis dan sintesis dalam perjalanan ribuan tahun kemajuan masyarakat di dunia.
Sebagai tesis maka masyarakat itu berada atas dasar kerja bersama dan milik bersama atas alat dan hasil. Keadaan semacam ini didapati hampir di seluruh dunia pada zaman komunis asli.

Sebagai anti tesis maka masyarakat komunisme asli terpecah dua dan menimbulkan pertentangan antara dasar milik bersama terhadap milik perorangan, antara kelas tak berpunya tetapi bekerja melawan kelas berpunya tetapi tidak bekerja. Keadaan begini terdapat di tiga tingkat masyarakat Eropa, yaitu 1) Tingkat masyarakat Budak-Slave 2). Masyarakat Feodal; dan 3) Masyarakat Kapitalisme.
Sebagai sintesis, maka masyarakat manusia di seluruh dunia sekarang sedang menuju kepada masyarakat komunis modern. Disini pertentangan di dalam masyarakat kapitalis, yakni pertentangan antara kerja bersama oleh yang tak berpunya melawan milik perseorangan oleh yang berpunya tetapi tidak bekerja akan hilang lenyap. Kita sedang menuju kepada masyarakat komunis modern yang (seperti masyarakat sosialisme) berdasarkan atas kerja bersama dan milik bersama atas alat dan hasil produksi.

Dipandang dari sudut pemerintahan, sejajar dengan cara produksi dan cara memiliki hasil itu tadi, pada zaman komunis asli “rakyat bersenjata itu bertindak sendiri” (untuk menentang musuhnya). Pada zaman berkelas, kelas dalam masyarakat memaksakan kemauannya atas kelas yang lain dalam masyarakat itu sendiri. Akhirnya kelak – pada zaman komunisme modern – seluruh manusia akan menjadi pekerja masyarakat yang merundingkan semua persoalan masyarakat, melaksanakan keputusan bersama, dan dengan sendirinya bertindak untuk menjaga kelancaran jalannya semua urusan masyarakat (pada awal komunisme masih perlu bertindak dengan keras).

Pada tingkat komunisme yang terakhir (fase yang tertinggi) negara (state), sebagai alat penindas bagi satu kelas atas kelas lainnya, hilang lenyap (withering away) karena tak ada lagi pertentangan dalam masyarakat. Tak ada lagi kelas yang akan ditindas. Perilaku memerintah sudah beralih menjadi perilaku mengatur dan mengawasi pekerjaan masyarakat, oleh, dari, dan untuk masyarakat itu sendiri atas dasar kemerdekaan persamaan dan persaudaraan yang sesungguhnya. Di masa ini semua kebiasaan yang diperlukan oleh fase komunisme yang tertinggi sudah ditanam dan tumbuh dalam fase komunisme yang pertama, yakni fase sosialisme yang didiktatori oleh kaum pekerja.
Proses (yang berupa ½ komunis asli) peralihan dari masyarakat berkelas ke komunisme modern itu bukanlah siklus dalam suatu lingkungan yang tertutup (circle), melainkan satu siklus dalam lingkungan yang terbuka dan terus naik (spiral). Komunisme modern sebagai puncak proses (sintesis) yang mungkin sekali akan mengalami gerakan dialektika pula (dalam badannya sendiri!) akan mempunyai sifat yang lebih banyak dan lebih baik daripada segala sifat yang terdapat pada komunisme asli (pada tesis!).

Kerja bersama pada komunisme modern adalah kerja bersama yang lebih rasional (teratur) dengan alat (mesin, listrik, dan energi kimia) yang semuanya jauh lebih maju daripada alat dari batu dan tenaga manusia di zaman komunisme asli. Milik bersama atas hasil produksi adalah milik bersama atas hasil yang berjuta-juta kali lipat ganda banyak sifat serta nilainya daripada hasil yang diperoleh dengan tangan dan alat dari batu di zaman komunisme asli. Hubungan antara manusia dengan manusia di zaman komunisme modern adalah hubungan yang tidak memandang kulit, darah, dan keluarga (suku) lagi seperti pada zaman komunisme asli, melainkan hubungan yang luas berdasarkan prikemanusiaan yang sejati.

Ringkasnya masyarakat baru itu akan mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan perbendaharaan yang diperoleh seluruh manusia dari berbagai bentuk dan warna selama sejarah seluruh manusia dalam puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun.

Syahdan seperti dibayangkan di atas, maka zaman diktator proletariat itu bukanlah zaman komunisme modern. Bolehlah diktator proletariat itu dikatakan sebagai zaman peralihan yang menyambungkan dunia kapitalisme dengan komunisme modern. Pada permulaan zaman peralihan itu, masyarakat yang didiktatori oleh kaum proletar itu meninggalkan masyarakat kapitalisme dan menginjak masyarakat komunisme modern. Pada akhir zaman peralihan itulah terletak masyarakat komunisme modern, masyarakat pada tingkat tertinggi.

Adapun diktator proletariat itu masih mengandung sifat kenegaraan, yakni alat penindas yang diadakan oleh kaum proletar untuk kaum proletar itu sendiri sebagai alat untuk menumbangkan alat penindas milik kaum borjuis. Tetapi pemerintah proletar, yang bersifat memaksa terhadap bekas borjuis itu sedang menanam semua bibit yang akan tumbuh menjadi pohon komunisme. Setelah semua alat produksi yang penting dijadikan milik masyarakat pekerja, maka semua sistem perekonomian, sosial, dan kebudayaan didasarkan atas maksud menanam semua kebiasaan yang diperlukan oleh masyarakat komunis, masyarakat fase tertinggi. Semua pekerjaan dilakukan menurut rencana, yang ditentukan oleh kaum pekerja sendiri, dijalankan dan diawasi jalannya oleh kaum pekerja untuk seluruh masyarakat pekerja.

Tetapi pada zaman peralihan, yakni zaman sosialisme atau zaman diktator proletariat itu distribusi (pembagian hasil) masih dijalankan menurut hukum borjuis, yaitu pertama: siapa yang tidak bekerja tidak akan makan, dan kedua “Seorang mengeluarkan tenaga yang sama untuk mendapatkan hasil yang sama.”

Kedua hukum tersebut masih bersifat borjuis, sebab seperti juga diakui oleh Marx, orang memang tidak sama satu dengan lainnya. Yang satu kuat dan yang lain lemah, yang satu kawin dan yang lain tidak, yang satu beranak banyak yang lain tidak beranak. Oleh sebab itu, tidak adil sama sekali kalau yang lemah diharuskan mengeluarkan tenaga yang sama banyak dengan yang kuat. Begitu juga sebaliknya, yang kuat menghasilkan lebih banyak dari pada yang lemah (dalam tempo yang sama) menerima upah yang sama dengan yang lemah itu; atau yang beranak-istri harus mendapat sama banyak dengan yang tidak; atau yang beranak banyak mendapat sama pula dengan yang tidak beranak. Persamaan macam itu adalah persamaan untuk semua orang yang tidak sama satu dengan lainnya atau persamaan yang palsu.

Tetapi Marx, Engels, Lenin, dan Soviet Rusia merasa terpaksa mempergunakan dasar tersebut sebagai titik melangkah ke dunia komunisme. Manusia yang baru keluar dari dunia kapitalisme itu haruslah mempunyai suatu pegangan buat melangkah. Masyarakat baru itu terpaksa terkait dengan masyarakat lama, seperti seorang bayi lahir masih disambungkan oleh ari-ari dengan ibunya. Kelak, setelah kelas dan ideologi borjuis lenyap dan kebiasaan serta kemauan bekerja sudah merata di seluruh masyarakat, di samping produksi yang dijalankan menurut rencana dan pemakaian teknik dan ilmu, maka hasil masyarakat itu akan berlipat ganda. Dengan produksi yang melimpah-limpah itu, maka dengan sendirinya berlaku dasar komunisme yakni : "Seorang bekerja menurut kecakapannya dan menerima hasil menurut kebutuhannya”.

Sebanding dengan majunya kebiasaan bekerja dan naiknya produksi maka lenyaplah kelas dan ideologi borjuis. Akhirnya, akan lenyap pulalah diktator proletariat tadi (withering away) sebagai alat penindas kaum pekerja terhadap kaum borjuis. Bersama dengan lenyapnya diktator proletariat, timbullah komunisme, fase tertinggi. Zaman yang di sebut belakangan itu tidak lagi mengenal negara besarta alat penindasnya, melainkan merupakan satu masyarakat yang makmur, rasional, adil, serta penuh perikemanusiaan.

Kaum anarko-sindikalis (bukan yang berlagak-lagak anarkis!) yang seharusnya cukup kita hormati, tidaklah memikirkan apakah yang selanjutnya akan terjadi, kalau negara borjuis sudah diruntuhkan. Mereka seakan-akan percaya bahwa apabila semua orang yang memegang kekuasaan itu (raja, menteri, jendral dan lainnya) dibunuh saja di mana pun dijumpai, maka keadaan seperti dalam komunisme – fase tertinggi – akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka melupakan bahwa semua sifat borjuis dari kelas borjuis yang juga meresap ke dalam kelas proletar itu tidak akan lenyap begitu saja dengan terbunuhnya semua orang yang memegang kekuasaan negara.

Kaum sosialis berkeyakinan bahwa kekuasaan kaum borjuis akan bisa direbut dengan merebut kursi dalam parlemen saja. Dengan jalan membuat undang-undang oleh para wakilnya kaum terbesar dalam parlemen, yakni para wakilnya kaum pekerja, maka mereka percaya bahwa alat produksi bisa dijadikan milik bersama oleh negara. Mereka lupa bahwa negara itu ialah “suatu negara”, sebagai alat penindas yang kaya atas yang miskin. Mereka lupa bahwa dalam badan pemerintahan, seperti dalam tentara, polisi, kehakiman, administrasi dan sebagainya, kaum intelek borjuislah yang menjadi pemimpin. Mereka ini dapat melakukan sabotase terhadap undang-undang yang menguntungkan kaum proletar dan merugikan kaum borjuis yang sudah diterima oleh parlemen, yang setelah itu harus dijalankan oleh berbagai alat negara. Dalam prakteknya sabotase itu selalu dilakukan oleh negara. Pengalaman kaum sosialis di Jerman yang memegang kekuasaan sesudah Perang Dunia I (pemerintah Ebort, Noske, dan Sheidemann) serta 3 kali masa pemerintahan sosialis di Inggris membuktikan bahwa kaum buruh tidak dibolehkan dengan bulat begitu saja mewarisi alat pemerintahan negara borjuis. Baik pemerintahan sosialis Jerman maupun pemerintah sosialis Inggris tidak berdaya menjalankan undang-undang sosialis yang bisa memotong akar-akar kapitalisme yang terpenting.

Mengambil pelajaran dari Revolusi Proletar di Perancis yang didirikan Comune Kota Paris (pemerintah kota Paris) pada tahun 1870, Marx dalam bukunya “Peperangan Saudara di Perancis” menyatakan bahwa kaum proletar tak boleh begitu saja mewarisi bulat-bulat negara (state) kaum borjuis, melainkan harus menghancurkan alat perlengkapan negara (birokrasi, tentara, polisi, mahkamah, dan lainnya) dan menukar alat negara itu dengan alat negara kaum proletar. Dari sinilah asalnya pengertian diktator proletariat yang oleh kaum Bolshewyk di Rusia di bawah pimpinan Lenin dilaksanakan dan oleh pihak internasional kedua dibawah pimpinan Karl Kautzky selalu dilupakan atau pura-pura dilupakan.

Lenin dalam State and Revolution, halaman 30-31 sepakat dengan Marx yang berpendapat bahwa pada tahun 1871 – ketika Inggris masih “sebagai contoh satu negara kapitalis tulen, tetapi tidak mempunyai unsur militerisme dan juga hampir tidak mengenal birokrasi” – adalah masa revolusi. Malah satu revolusi rakyat bisa dimengerti dan boleh jadi berlaku tanpa memerlukan satu jaminan, yakni lebih dahulu alat negara yang sudah siap itu harus dihancurkan. Tetapi, menurut Lenin, pada tahun 1917 dalam masa perang besar imperialis, paham Marx tadi tidak tepat lagi. Inggris dan Amerika sebagai buah kemerdekaan (liberty) Anglo-Saxon yang terbesar dan terakhir tanpa militerisme dan birokrasi, sebaliknya sekarang sudah terjun ke dalam lumpur perlengkapan birokrasi militerisme yang kotor berlumuran darah itu, yang menguasai dan menginjak-injak segalanya. Saat ini, baik di Inggris maupun di Amerika, bagi Lenin, hal terpenting sebagai syarat terjadinya revolusi rakyat yang sejati adalah memecahkan dan menghancurkan alat negara yang sduah siap itu (ready made state machine yang dimasukkan ke dalam ke dua negara itu antara tahun 1914 dan 1917). Selanjutnya menurut Lenin yang kini harus dilakukan adalah memberi perhatian istimewa kepada peringatan Marx bahwa penghancuran alat negara yang berupa birokrasi dan militerisme itu adalah syarat terpenting penjamin tiap-tiap revolusi rakyat yang sesungguhnya.
Sistem ditaktor proletariat bukanlah satu mimpi atau ciptaan Marx. Sebagai seorang scientist, Marx tak pernah memimpikan atau menciptakan sesuatu seperti kaum utopis : Thomas Moore, Saint-Simon, Fourir, dan Robert Owen. Sebagai scientist maka Marx membentuk suatu tesis atau suatu pengalaman, yakni suatu bukti. Perbuatan kaum proletar para pemimpin Comune di Paris pada tahun 1871 mewarisi alat negara secara bulat begitu saja. Mereka membiarkan kaum borjuis bersarang terus dalam semua alat negara dan melakukan perlawanan diam-diam terhadap kaum proletar, serta mensabotase semua putusan dan undang-undang kaum proletar yang memegang kekuasaan di masa itu. Para pemimpn proletar tidak menukar alat negara borjuis dengan alat negara proletar, oleh dan untuk kaum proletar.

Kealpaan kaum proletar Paris itulah yang oleh Marx dianggap menjadi sebab utama Comune Paris dapat dihancurkan oleh kaum borjuis dari dalam dan dari luar dalam waktu singkat.
Proletar Rusia di bawah pimpinan Partai Komunis tidak mewarisi bulat-bulat alat negara yang dipusakakan oleh Tsar, seperti yang berturut-turut diwarisi oleh kaum borjuis Rusia, di bawah pimpinan profesor Miljukoff dan oleh partai sosial revolusioner yang mewakili kaum borjuis kecil, di bawah pimpinan Kerensky dan kawan-kawannya. Kaum komunis menghancurkan alat negara peninggalan Tsar beserta ningratnya yang diwarisi bulat-bulat oleh borjuis besar dan kecil itu, sambil menggantinnya dengan alat negara proletar. Pemerintahannya lama diganti dengan Soviet, tentara feodal borjuis diganti dengan tentara merah, polisi feodal borjuis di babat dan ditukar dengan polisi proletar, mahkamah feodal borjuis dihapuskan dengan mahkamah proletar, Pendidikan feodal borjuis ditukar pendidikan proletar dan sebagainya.
Dengan diktator proletariatnya, maka Soviet Rusia, sudah berdiri lebih daripada 30 tahun dan sudah sanggup mengganti negara setengah kapitalis dengan negara industri kelas satu : sudah menang berperang dan sudah saggup memusatkan tenaga lebih dari pada 300 juta manusia, atau sepertujuh dari jumlah seluruh manusia, serta menduduki seperlima dari seluruh daratan di dunia.

Tetapi komunisme sejati yang meliputi seluruh dunia haruslah lebih dahulu melalui zaman peralihan, yakni zaman diktator proletar yang menguasai seluruh dunia pula. Sekarang manusia yang berpaham komunis, manusia yang berbentuk dan berwarna bermacam-macam itu, yang mendiami puluhan negara pada pelbagai macam kondisi geografis serat kebudayaan di lima benua, memang sedang mengorganisasi dan mengerahkan kaum proletar dunia dengan hasrat menghancurkan kaum ningrat-borjuis beserta kaki tangannya di seluruh dunia. 

( Tan Malaka )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Semar

Syekh Siti Jenar